ARSIP ARTIKEL

Arsip Artikel

NO… PRODUCT OF THOUGHT, YES… MODE OF THOUGHT

Oleh: Syaiful Annas

Kata kunci: Fiqh, transformasi hukum dan manhaji

  1. Pendahuluan

Life is full of the rule of law, which needs to be understood correctly that all laws were created not to judge, but the law was created to provide a benefit for mankind. Law is not a doctrine of life, but the law is a form of manifestation of human life itself. The law will be silent if we are on the right rails, the law will catch up if we stray and damage the rails. Laws need to be followed but it should be understood and assessed, why and for what the law was made.

As well as law jurisprudence, a masterpiece of human thought with all the outpouring of his ability to answer the problems that arise in public life. We should bear in legal jurisprudence properly understood, this understanding requires a review and an extensive scientific spectacles. We are the most perfect human being in this world, perfect because it is equipped with reason, then we need to use common with the optimal and correct, in accordance with the instructions through the shari’ah of God, because truth belongs only to Him alone …

Hidup ini penuh dengan aturan hukum, yang perlu dipahami secara benar bahwa semua hukum itu diciptakan bukan untuk menghukumi, akan tetapi hukum diciptakan demi terciptanya sebuah kemaslahatan bagi ummat manusia. Hukum bukanlah sebuah doktrin hidup, akan tetapi hukum merupakan bentuk manifestasi dari kehidupan manusia itu sendiri. Hukum akan diam jika kita berada pada rel-rel yang benar, hukum akan mengejar jika kita melenceng dan merusak rel-rel tersebut. Hukum perlu diikuti akan tetapi perlu juga dipahami dan dikaji, kenapa dan untuk apa hukum itu dibuat.

Begitu juga dengan hukum fiqh, sebuah karya pikir manusia dengan segala curahan kemampuannya demi menjawab sebuah persoalan-persoalan yang muncul dalam kehidupan masyarakat. Perlu kiranya hukum fiqh dipahami secara benar, pemahaman tersebut memerlukan sebuah penelaahan dan kacamata keilmuan yang luas. Manusia adalah makhluk yang paling sempurna di dunia ini, sempurna karena dilengkapi dengan akal, maka kita perlu gunakan kesempurnaan tersebut dengan optimal dan benar, tentunya sesuai dengan petunjuk melalui syari’at Allah, karena kebenaran hanya milik-Nya semata…”

 

وما كان المؤمنون لينفروا كافّة فلولا نفر من كلّ فرقة منهم طائفة ليتفقهوا في الدين وليندروا قومهم إذا رجعوا إليهم لعلّهم يحذرون

Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. (QS. At-Taubah:122)

Sebuah karya merupakan hasil kesungguhan usaha (ijtihad) yang perlu diberikan sebuah apresiasi yang lebih, karena tidak semua orang bisa fokus dan bersungguh-sungguh untuk berpikir dan memiliki intelektualitas tinggi kemudian menghasilkan sebuah karya terutama bagi ummat. Begitu juga atas apa yang telah dilakukan oleh ulama konvensional —yaitu Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali sebagai Imam Mazhab dan Mujtahid Mutlak Mustaqil— dalam menghasilkan sebuah karya dibidang fiqh yang didedikasikan bagi ummat Islam.

Banyak ditemui dalam kehidupan masyarakat kita, yaitu kekeliruan dalam memahami sebuah arti karya, hasil atau kreasi ijtihad ulama tersebut. Seolah-olah karya mereka yang kemudian dibukukan dan masih menjadi referensi sampai saat ini merupakan sebuah doktrin paten (tak bisa dirubah) dan baku. Padahal fiqh itu sendiri merupakan hasil karya manusia yang tak luput dari kealpaan dan ketidaksempurnaan, sangat berbeda dengan dalil syar’i yang memang datangnya langsung dari syari’ (Allah Swt.) dzat maha sempurna berupa al-Qur’an dan Hadits/Sunnah melalui utusannya sebagai sumber hukum (mashadirul ahkam).

Fiqh dibentuk secara dinamis dengan menyesuaikan kondisi sosio-historis masyarakat yang hidup atas interpretasi terhadap al-Qur’an dan Hadits itu sendiri. Hal inilah yang perlu dipahami dan dipahamkan.

  1. Pembahasan

 

Pengertian fiqh banyak kita temukan diliteratur-literatur baik yang berbahasa arab maupun berbahasa Indonesia sehingga penulis tidak akan menguraikan lagi dalam tulisan ini. Tetapi akan ditunjukkan adanya miss understanding mengenai fiqh dan syariah. Fiqh merupakan derivasi dari syari’ah, hal ini telah diungkapkan juga dalam pengertian syari’ah yang diungkapkan oleh ahli-ahli syari’at:

الشّريعة ما شرع الله لعبادته من الأحكام الّذى جائت بها نبيّ من الأنبياء صلّى الله عليهم وعلى نبيّنا وسلّم, سواء كانت متعلّقة بكيفيّة عمل وتسمّى فرعيّة ودوّن لها علم الفقه, أو بكيفيّة الإ عتقاديّة أصليّة واعتقاديّة ودوّن لها علم الكلام, ويسمّى الشّرع أيضا بالملّة والدّين.

“Syari’at ialah apa (hukum-hukum) yang diadakan oleh tuhan utuk hamba-hambanya, yang dibawa oleh salah seorang Nabi-Nya saw., baik hukum-hukum tersebut berhubungan dengan cara mengadakan perbuatan yaitu yang disebut sebagai hukum-hukum cabang dan amalan, dan untuknya maka dihimpunlah ilmu fiqh, atau berhubungan dengan cara mengadakan kepercayaan (i’tikad), yaitu yang disebut sebagai hukum-hukum pokok dan kepercayaan, dan untuk nya maka dihimpunlah ilmu kalam. Syari’at (syara’) disebut juga agama.”

Dari pengertian di atas bisa dilihat secara jelas bahwa fiqh bukanlah sebuah doktrin hukum, karena fiqh adalah hukum yang bersifat ijtihadi sebagai bentuk interpretasi atau penafsiran atas syariah menurut akal manusia yang bersifat dzanni (sangkaan).

Sebagaimana yang telah diungkapkan di atas, bahwa pada dasarnya hukum (fiqh) sendiri dibentuk dengan “menyesuaikan” dengan kondisi mayarakat, dan bukannya masyarakat yang menyesuaikan hukum, hal ini bisa ditunjukkan bahwa hukum muncul sebagai sebuah respon atas perilaku dan macamnya problematika dalam kehidupan manusia. Hukum akan berubah seiring dengan perkembangan masyarakat juga adanya perbedaan ruang dan waktu. Apabila dalam nash (al-qur’an dan al-hadits) tidak mengatur atau menerangkan secara rinci dan jelas, maka diperlukan sebuah transformasi hukum bahkan membuat hukum baru yang tentunya berada pada standarisasi aturan nash. Bentuk perubahan tersebut agar hukum Islam bisa berlaku shalih likulli zaman wal makan, meskipun cara atau metode yang digunakan dalam pengambilan hukum berbeda-beda, tapi bertujuan sama yaitu kemaslahatan (keadilan sosial). Bentuk perubahan hukum yang dimaksud senada dengan bunyi kaidah fiqhiyyah:

لا ينكر تغيّر الاحكام بتغيّر الامكنة والأزمنة والأحوال

jangan diingkari bahwa perubahan hukum-hukum sesuai dengan perubahan tempat, zaman dan keadaan”.

Dengan kaidah di atas dapat dipahami bahwa perlu adanya transformasi hukum dalam ruang dan waktu yang berbeda. Dalam literatur inilah penulis ingin mengajak kepada pembaca agar lebih memahami sebuah karya fiqh yang merupakan sebuah produk ijtihadi oleh ulama (pakar hukum Islam) sebagaimana ulama konvensional secara lebih arif, dengan memahami bagaimana model berpikir mereka (mode of thought) bukan hanya berkiblat dengan hasil karya yang telah ada saja (product of thougt) dan menjadikan pribadi muslim yang cerdas dan bermetodologi (manhaji).

Contoh sederhana yang bisa disampaikan adalah, Rasulullah SAW. memerintahkan agar dari makanan pokok tersebut adanya zakat, dan hal tersebut merupakan salah satu dari rukun Islam. Masyarakat di Arab makanan pokoknya berasal dari gandum, sedangkan di Indonesia makanan pokoknya adalah berasal dari padi, perbedaan tersebut disebabkan letak geografis yang berbeda antara Negara Arab dan Indonesia. Gandum sangat jarang ditemui di Indonesia karena struktur alam dan iklim yang berbeda begitu pula sebaliknya, sedangkan Rasulullah SAW. sendiri tidak ditemukan menyebutkan padi sebagai hasil panen yang harus dizakati, maka apakah ummat muslim di Indonesia tidak berzakat lantaran tanamannya adalah padi dan bukan gandum?.

Untuk menyelesaikan hal ini para ulama menggunakan metode penyelesaian hukum (thariq istinbath al-hukmi) melalui qiyas, yaitu menyamakan suatu peristiwa hukum yang tidak ada nashnya dengan peristiwa hukum yang ada nashnya karena ada persamaan ‘illat (alasan) antara keduanya. Dalam metode penyelesaian persoalan dengan qiyas tersebut, dengan melihat ‘illat hukum (‘illat al-hukmi) yang sama, antara gandum sebagaimaqis ‘alaih dan padi sebagai maqis, yang ‘illatnya adalah sama-sama merupakan sumber makanan pokok, sehingga kesimpulan hukumnya adalah padi pun harus dizakati sebagaimana gandum. Dari contoh tersebutlah bisa dipahami yang dimaksudkan dengan transformasi hukum.

Dalam filsafat ilmu juga dikenal dengan 3 (tiga) kerangka pikir, yaitu secara aksiologis (nilai kegunaan ilmu), ontologis (hakikat apa yang dikaji) dan epistemologis (cara mendapatkan pengetahuan). Kaitannya dengan tulisan ini yang diinginkan adalah bagaimana kita bisa berpikir epistemologis, terutama dalam menyikapi masalah-masalah hukum amaliyah (fiqh) untuk mengetahui bagaimana hukum itu bisa ada/dibuat, tentunya agar kita tidak mengikuti hukum qauli atau dalam istilah yang lebihtaqlid buta. hal tersebut agar mendidik dan membentuk pola pikir menjadi lebih arif dalam jati diri muslim yang cerdas dan bermetodologi (manhaji).

Dalam bersandarkan terhadap hukum yang telah diijtihadi oleh ulama pun perlu kiranya kita memahami bagaimana latar belakang (background) kehidupan mereka, pola pikir masyarakat ketika masa hidup mereka serta kerangka pikir yang dibangun oleh ulama itu sendiri.

Berikut gambaran singkat ( yang dimaksud penulis) yang harus kita pahami mengenai pola atau kerangka pikir yang dibangun oleh empat mazhab yang kemudian muncul mazhab kelima yaitu Zahiri, dalam membandingkan melalui prosentase kecenderungan penggunaan dalil hukum:


1.      Mazhab Hanafi
 

 

 

 

 

       
Al-Qur’an Hadits Qiyas Istihsan Ijma’

Keterangan:

  • Al-Qur’an, semua ulama sepakat bahwa sebagi dalil hukum yang pertama dan utama, meskipun begitu mereka kadang-kadang berlainan pendapat tentang penafsirannya dan hukum yang dihasilkan (istinbath al-hukmi).
  • Hadits, yang diterima oleh Hanafi ialah hadits masyhur yang dirwayatkan oleh dua, tiga orang. Hadits Ahad tidak diterima, dengan mendahulukan qiyas, oleh karena itu lingkaran hadits lebih kecil dari lingkaran qiyas.
  • Istihsan, yaitu meninggalkan dan mementingkan keadilan/kebaikan mutlak dengan berpaling dari qiyas jali ke qiyas khafi atau berpaling dari hukum kulli ke hukum juz’i.
  • Ijma’ yang diterima mazhab ini adalah ijma’ sahabat, tapi Ulama Hanafiyyah juga menerima ijma’ ulama-ulama mujtahid.
2. Mazhab Maliki
 

 

 

 

 

       
Al-Qur’an Hadits Qiyas Mashalih Mursalah Ijma’

Keterangan:

  • Sebagaimana mazhab-mazhab yang lain, Maliki juga sepakat bahwa al-Qur’an dalil hukum yang pertama dan utama, meskipun begitu mereka kadang-kadang berlainan pendapat tentang penafsirannya dan hukum yang diistinbathkan.
  • Maliki menerima hadits ahad dan atsar sahabat yang shahih meskipun tidak masyhur, tetapi perbuatan penduduk Madinah dan Ijma’ ulamanya lebih kuat dan didahulukan dari hadits ahad.
  • Qiyas hanya dipegangi kalau tak ada hadits dan atsar sahabat yang sah.
  • Berbeda denga Hanafi yang memegangi istihsan, Maliki dan Ulama Malikiyyah memegangi mashalah mursalah yaitu kemaslahatan yang oleh agama tidak diperintah tetapi juga tidak dilarang/ditolak.
  • Ijma’ Ulama Madinah kemudian ijma’ ulama mujtahid, ijma’ ulama Madinah lebih kuat dan didahulukan dari hadis ahad, sebab itu lingkaran ijma lebih besar daripada lingkaran hadits.

3. Mazhab Syafi’i
 

 

 

 

 

       
Al-Qur’an Hadits Qiyas Ijma’

Keterangan:

  • Sebagaimana mazhab-mazhab yang lain, Maliki juga sepakat bahwa al-Qur’an dalil hukum yang pertama dan utama, meskipun begitu mereka kadang-kadang berlainan pendapat tentang penafsirannya dan hukum yang diistinbathkan.
  • Mazhab ini menerima hadis yang sah atau hasan (baik) meskipun tidak masyhur dan hadits itu lebih kuat dan didahulukan dari qiyas dan ijma’ ulama Madinah.
  • Qiyas diterima jika tidak ada nash (keterangan dalam al-Quran dan hadits)
  • Ijma’ ulama-ulama mujtahid seluruhnya dalam suatu masa (yang penulis temukan dalam kitab ‘ilmu ushul al-fiqh karya Abdul Wahab Khalaf, bahwa ulama Syafi’iyyah hanya menerima ijma’ pada masa abad ke-2 yaitu masa khulafaurrasyidin saja), ijma’ ulama-Ulama Madinah saja tidak bisa dijadikan sebagai dalil.
4. Mazhab Hanbali
 

 

 

 

 

       
Al-Qur’an Hadits Qiyas Ijma’

Keterangan:

  • Sebagaimana mazhab-mazhab yang lain, Maliki juga sepakat bahwa al-Qur’an dalil hukum yang pertama dan utama, meskipun begitu mereka kadang-kadang berlainan pendapat tentang penafsirannya dan hukum yang diistinbathkan.
  • Menerima hadits yang sah, hasan atau dhaif dan termasuk fatwa-fatwa sahabat. Yang demikian itu lebih kuat dan didahulukan dari qiyas.
  • Qiyas hanya dipegangi kalau terpaksa tidak ada nash dari hadits, atsar dan fatwa-fatwa sahabat meskipun dhaif yaitu dalam urusan yang bukan ibadat.
  • Ijma’ yang diterima ialah ijma’ sahabat saja, mereka mengatakan barang siapa yang mendakwakan ijma’ sesudah sahabat adalah bohong.
5. Mazhab Zahiri
 

 

 

 

 

       
Al-Qur’an Hadits Qiyas Ijma’

Keterangan:

  • Mengenai al-Qur’an, Dzahiri sama dengan mazhab yang lain, tetapi harus difahamkan menurut yang lahir saja, yakni menurut yang tersurat bukan tersirat.
  • Hadits yang diterima adalah hadits yang shahih dan hasan harus difahamkan menurut yang lahir saja, yakni menurut yang tersurat bukan tersirat.
  • Dzahiri menolak qiyas sama sekali dan tidak memperbolehkan qiyas dijadikan dalil sebagai hukum.
  • Ijma’ ulama mujtahid semunya diterima dengan tidak ada yang membantah serta berdasarkan kepada al-Qur’an dan hadits bukan kepada qiyas.

Di sini juga penulis ingin memperlihatkan secara transparan bagaimana hukum fiqh Islam sendiri mempunyai banyak “warna”, karena model landasan berpikir –sebagaimana gambaran di atas– yang berbeda. Hal tersebutlah yang sebenarnya perlu dipahami dalam memahami karya-karya ijtihad dalam bidang fiqh yang selama ini dipahami dan dipratekkan masayarakat. Melalui adanya perbedaan dalam mengambil dalil(istidhlal) kemudian mengeluarkan hukum (istinbath), maka akan beda pula kesimpulan atau produk hukumnya, akan tetapi kita tidak menjadi muqallid yang buta, kita harus tahu bagaimana dan darimana hukum itu dibuat agar kita sebagai pengikut (muttabi’) tidak tersesat. Begitu juga kiranyalah keberagaman hukum Islam. Pemahaman yang perlu kemudian adalah dengan adanya keberagaman jangan sampai melenceng dari rel-rel syari’at Allah swt., dengan keberagaman tersebut bukan menjadi pemecah ummat, tapi justru sebagai rahmat. Tidak sepatutnya manusia saling menghukumi bahkan menghakimi pendapat yang berbeda, karena yang baik itu menurut syariat dan jelek itu juga menurut syari’at, sehingga bukan kuasa manusialah penilai segala sesuatu:

الصّحيـــــــح ما صحّحه الشّرع والقبيــــــح ما قـبّحه الشّرع

“yang baik/benar adalah yang baik/benar menurut syari’at, yang buruk/salah adalah yang buruk/salah menurut syari’at”

Demikian sedikit uraian agar kita lebih arif dalam menggali sebuah ilmu, terutama ilmu-ilmu yang telah dikonstruksi oleh ulama konvensional agar tidak salah juga dalam meneladani produk pemikiran (product of thought) ulama sekarang/kontemporer (khalaf/’ishr), dengan memahami model(mode of thought) berpikir mereka.

  1. Penutup

Akal merupakan ciri kesempurnaan yang dimiliki manusia dibandingkan makhluk Allas swt. yang lainnya, berpikir adalah kerjanya. Hukum selalu berjalan seiring dengan kehidupan, hukum bisa benar jika dilaksanakan dengan benar dan sebaliknya hukum bisa menjadi musuh jika salah penerapannya.

Aturan hukum amaliyah (fiqh) yang selama ini dipraktekkan merupakan sebuah Sebuah bentuk keberagaman khazanah ilmu keislaman dan karya buah pikir yang luar biasa. Perlu kiranya dipahami dengan menkritisi secara baik dan benar landasan hukumnya. Kenapa banyak perbedaan dalam kesimpulan hukum para ulama.

Dengan pola pikir yang dimaksud diharapkan kemajuan pola pikir masyarakat muslim untuk menerima dengan cerdas, bijaksana dan tangguh untuk menghadapi segala tantangan zaman dengan problemtika lika-likunya secara bermetode (manhaji). Dengan ini sehingga akan terbentuklah pribadi muslim yang madani secara intelektual dan bermasyarakat.

            Akhirnya penulis mengembalikan semuanya kepada Allah swt. yang maha tahu dan maha benar, semoga tulisan ini bermanfaat, kritikan yang membangun sangat penulis harapkan guna koreksi serta untuk melengkapi tulisan ini. Wallahu a’lam bis shawaf .

Daftar bacaan:

  1. Al-Qur’an al-Karim
  2. Khoiruddin Nasution, MA., Pengantar Hukum Perkawinan I, (Yogyakarta: Taftazza, 2001)
  3. Abdul Mughits, M.Ag, Kritik Nalar Fiqh Pesantren, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet. I, 2008)
  4. Abdul Wahhab Khalaf, ‘Ilm Ushul al-fiqh, (Kuwait: dar al ‘ilm,t.t.)
  5. Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al Ahkam, (Beirut-Lebanon jilid II: dar al fiqr, t.t.).
  6. Ahmad Hanafi, MA., Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970).
  7. Ibnul Qayyim al-Jauziah, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin, (Beirut: Daar al-Fikr,t.t.)
  8. Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001).
  9. Jalaluddin asy-Syuyuti, al-Ashbah wa an-Nadzair fi al-Furu’, (Semarang: Toha Putra, 1991)
  10. KH. Sya’rani dalam Buletin al Qudsy Pon.Pes al-Qudsiyyah, Kudus, Jawa Tengah, 2009.
  11. Prof. Dr. H. Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1996).
  12. Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet. I, 2009).
  13. Dr. Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, cet. 4, terj. Drs. Sabil Huda, dkk. (Semarang: Amzah, 2004).