“Fenomena Child Grooming sebagai Bentuk Eksploitasi: Memahami Kerentanan Remaja Perempuan.”
Aulia Rochmani Lazuardi, S.H.
(Hakim Pengadilan Agama Batulicin)
I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Child grooming merujuk pada proses sistematis ketika pelaku atau groomer membangun kedekatan emosional, kepercayaan, dan ketergantungan pada anak atau remaja dengan tujuan akhir melakukan kekerasan atau eksploitasi seksual. (Anggreany Haryani Putri, 2023, p. 4) Di era media sosial yang serba cepat, proses manipulatif ini dapat terjadi tanpa batas ruang dan waktu, membuat remaja—terutama remaja perempuan—menjadi kelompok yang paling rentan. Kerentanan ini tidak muncul secara tunggal, melainkan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kebutuhan perhatian dan validasi, kurangnya literasi digital, perkembangan psikososial yang masih labil, serta norma sosial yang sering menempatkan perempuan sebagai pihak yang “harus menyenangkan” dan mudah disalahkan. Fenomena child grooming kini berkembang menjadi salah satu bentuk kekerasan terhadap anak dan remaja, khususnya perempuan. Groomer memanfaatkan celah-celah kerentanan tersebut dengan menyamar sebagai teman sebaya, figur pasangan, atau mentor yang memahami perasaan korban lebih dari lingkungan terdekatnya. Banyak groomer yang memulai pendekatannya dengan menawarkan perhatian, kasih sayang, dan kehangatan emosional, sehinga remaja perempuan merasa dihargai, dimengerti, dan diperlakukan secara istimewa. Dalam konteks inilah grooming sering disamarkan sebagai hubungan romantis—groomer mengaku sebagai “kekasih” atau “teman dekat”—padahal secara nyata hubungan tersebut dibangun untuk menciptakan ketergantungan, manipulasi, dan kontrol.
Child grooming merupakan salah satu tindakan tidak baik yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak dibawah umur yang dapat memancing kekerasan sampai dengan pelecehan seksual. (Ika Yuniartiningsih, 2022, p. 122)
Dalam banyak kasus, child grooming berkembang menjadi kekerasan dalam pacaran (dating violence), baik dalam bentuk manipulasi emosional, pengawasan ketat, tekanan seksual, hingga ancaman menyebarkan dokumentasi pribadi. Remaja perempuan yang terlanjur terikat secara emosional seringkali sulit keluar karena merasa berutang budi, takut kehilangan, atau bahkan tidak menyadari bahwa mereka sedang mengalami kekerasan. Fenomena ini menunjukkan bahwa child grooming bukan sekadar tindakan pendekatan yang berbahaya, tetapi merupakan pintu masuk menuju siklus kekerasan yang lebih dalam dan berulang.
Berdasarkan data Komnas Perempuan Tahun 2024, tercatat sebanyak 36 kasus Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) dan 52 kasus Kekerasan oleh Mantan Pacar (KMP) terhadap remaja perempuan usia 14-17 tahun. Sedangkan dalam kasus remaja usia usia 18-24 tahun sebanyak 233 kasus Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) dan 421 kasus Kekerasan oleh Mantan Pacar (KMP). (KOMNAS PEREMPUAN, 2025). Bentuk kekerasannya beragam, mulai dari kekerasan seksual, kekerasan fisik, kekerasan ekonomi, dan kekerasan psikis. Dalam KMP terdapat pola khusus, di mana groomer juga mengancam dengan tujuan untuk menjalin hubungan kembali dengan korban.

Gambar 1.1 Data Usia Korban dan Pelaku dalam KDP dan KMP Data Komnas Perempuan Tahun 2024
Di tengah zaman internet yang semakin kuat, fenomena grooming tidak lagi terbatas pada pertemuan langsung, tetapi juga menjalar melalui pesan pribadi, permainan daring, hingga platform berbagi foto dan video. Proses ini sering berlangsung secara bertahap dan tersembunyi, sehingga korban maupun keluarganya sulit menyadari bahaya hingga eksploitasi sudah terjadi. Karena itu, memahami bagaimana grooming bekerja dan mengapa remaja perempuan menjadi target utama merupakan langkah penting untuk meningkatkan upaya pencegahan, perlindungan, dan edukasi bagi generasi muda.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana fenomena child grooming bisa terjadi?
2. Mengapa remaja perempuan lebih rentan terhadap child grooming?
3. Apa dampak dari fenomena child grooming?
4. Bagaimana upaya pencegahan terhadap fenomena child grooming?
C. Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah pendekatan deskriptif-kualitatif. Penelitian deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang dengan tujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antarfenomena yang terselidiki. Sedangkan kualitatif, yaitu penelitian yang data-datanya berupa kata-kata, kalimat, artinya datanya tidak berbentuk angka. (Dr. Drs. H. Rifa'i Abubakar, 2021) Metode yang digunakan adalah studi pustaka (library research), pengumpulan data dengan cara mencari sumber dan merkontruksi dari berbagai sumber seperti buku, jurnal, dan riset-riset yang sudah ada.
II. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Penyebab Terjadinya Child grooming.
Sebelum masuk ke pembahasan mengenai child grooming, kita perlu tau pengertian anak terlebih dahulu. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Pasal 1 ayat (1) Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, menyebutkan bahwa “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” Fenomena child grooming semakin mendapat perhatian public seiring meningkatkan kasus eksploitasi anak dan remaja, khususnya remaja perempuan. Di sisi lain, secara perkembangan psikologis, kelompok usia ini berada pada tahap remaja, yaitu fase transisi dari masa kanak-kanak menuju dewasa yang umumnya berada pada rentang usia 12–18 tahun. Masa remaja ditandai oleh pencarian jati diri, kebutuhan besar akan pengakuan, keinginan untuk merasa dicintai, serta kematangan emosional yang masih terbatas. Kerentanan ini membuat remaja—terutama perempuan—lebih mudah dipengaruhi oleh bentuk-bentuk perhatian atau kedekatan emosional yang ditawarkan oleh groomer.
Fenomena child grooming dapat terjadi akibat hubungan yang tidak setara, misalnya kekuasaan yang tidak setara antara anak dengan orang tua, guru, atau pemuka agama. Anak memandang orang tua, guru, atau pemuka agama sebagai orang yang lebih berkuasan dan memiliki otoritas, sehingga tidak patut dibantah dan dilawan. Hubungan yang tidak setara ini telah dipelihara sejak kecil, sehingga tertanam bahwa anak lebih rendah dari orang tua, guru atau pemuka agama. Ketika terjadi kekerasan seksual, anak tidak mampu melawan dan cenderung menerima bahkan menutupinya. (Formas Juitan Lase, 2022)
Bahkan banyak dijumpai di masyarakat kita bahwa pelaku kekerasan seksual adalah orang terdekat korban seperti anggota keluarga, atau di lingkungan sekolah seperti guru, dan tempat ibadah seperti pemuka agama. Padahal keluarga, guru, dan pemuka agama seharusnya menjaga dan melindungi anak dari segala jenis kekerasan. Bahkan dalam suatu kasus di Jawa Barat tahun 2021, pelaku kekerasan seksual adalah seorang guru dan pemimpin pesantren. Pelaku memperkosa 13 santriwati hingga hamil dan melahirkan. Korban rata-rata berusia 13-16 tahun dan telah menjadi korban pemerkosaan selama 5 tahun sejak 2016. Pelaku bahkan tidak hanya sekali melakukan perbuatan bejatnya, melainkan telah dilakukan secara beruangkali. Disebutkan dalam beberapa pemberitaan, sebelum memperkosa korban, pelaku mendekati, merayu, dan memanipulasi hungga membuat korban bergantung dan patuh kepadanya. Korban kemudian tidak berdaya untuk melaporkan apa yang dialami. Perbuatan pelaku tersebut merupakan salah satu bentuk child grooming atau child sexual grooming, yang dilakukan dengan cara menipu, memanipulasi, mengeksploitasi, bahkan mengontrol anak dibawah umur yang dibangun melalui proses hubungan dengan membentuk ikatan emosional supaya kontak seksual dapat terjadi dengan mudah dan sulit terungkap. (Natalie Bennett, 2014)
Sebelum melakukan chid grooming, terlebih dulu groomer akan memilih korban (selection of a victim). Ini merupakan langkah pertama, groomer tidak sembarangan dalam memilih (calon) korban. Groomer memilih berdasarkan penampilan, kemudahan akses, dan kerentanan anak. Bahkan groomer melihat kondisi keluarga dari (calon) korbannya, misalnya apakah korban tinggal dengan orang tua tunggal atau tidak, anak yang tinggal dengan kerabat atau wali, asrama, panti asuhan yang jauh dari pengawasan orang dewasa, termasuk anak yang terlibat narkoba, alkohol, KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), hingga pelecehan seksual. Anak-anak yang terisolasi dan kekurangan dukungan secara sosial, rendah diri, tidak percaya diri, lebih rentan terhadap perhatian orang asing. (Rebecca Williams, 2013)
Langkah kedua yakni mendapatkan akses (gaining access). Ini dilakukan oleh groomer dengan tujuan mendapatkan akses secara menyeluruh dan mulai mengisolasi anak secara fisik dan emosional. Hal yang biasanya dilakukan adalah selalu berada di sekitar anak dengan cara menawarkan bantuan, memberikan perhatian atau hadiah. Terlebih jika groomer memiliki waktu dan ruang yang cukup bersama korban, misalnya guru selama di sekolah. Hal ini tentunya menjadi kemudahan groomer dalam mendapatkan akses untuk melakukan pelecehan kepada korban. Seperti kasus di Gorontalo tahun 2024, dimana seorang guru melakukan child grooming terhadap siswi yatim piatu, serta kasus lain di Batam pada Oktober 2024, di mana seorang guru diduga memanipulasi seorang siswi dengan menjalin hubungan pacaran dengan korban sejak berusia 12 tahun.
Langkah selanjutnya adalah mengembangkan kepercayaan terhadap korban (trust development). Tahapan ini merupakan tahapan paling genting di mana groomer membangun ikatan emosional kepercayaan dan bahkan kerja sama dengan korban juga keluarga korban untuk memudahkan groomer melakukan aksinya tanpa dicurigai. Setelah groomer memiliki kepercayaan korban, seperti menjadi teman dekat, groomer memberikan perhatian, hadiah dan berbagi rahasia yang mengakibatkan anak memiliki perasaan istimewa terhadap groomer. Dari hubungan inilah groomer dapat mengontrol dan memanipuasi anak agar berpartisipasi dalam pelecehan seksual. (Georgia M. Winters, 2017)
Langkah terakhir yang dilakukan oleh groomer yakni membuat anak tidak peka terhadap sentuhan. Dalam tahapan ini biasanya anak tidak waspada dan menyadari bahwa sentuhan yang dilancarkan oleh groomer untuk tujuan pelecehan seksual adalah hal yang tidak wajar, sebaliknya justru anak menganggap hal ini adalah hal yang wajar. Dalam tahap ini groomer sudah melakukan kontak fisik kepada korban seperti menyentuh, memeluk, bahkan menunjukkan foto atau video pornografi. Groomer juga mulai menyinggung dan membahas konten seksual pada anak dengan tujuan meningkatkan intensitas terhadap kontak seksual. Hal ini dilakukan dengan cara alami, tanpa sengaja meningkat menjadi sentuhan intim bahkan kekerasan seksual. Setelah pelanggaran seksual terjadi, biasanya groomer akan menuntut kerahasiaan dari korban dan menyalahkan korban. Selain itu, groomer menuntut agar korban tetap diam karena aktivitas seksual dapat menyebabkan anak menarik diri dari hubungan yang telah terjalin. Jika groomer memutuskan hubungan dengan korban, groomer dapat mengancam korban dan melakukan tindakan membeberkan, mempermalukan, serta membuat korban dikucilkan oleh lingkungannya. (Anggreany Haryani Putri, 2023)
2. Penyebab remaja perempuan lebih rentan terhadap Child grooming.
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan remaja khususnya perempuan lebih rentan terhadap child grooming. Anak berusia di bawah 18 tahun atau remaja khususnya perempuan, berada dalam fase penting untuk mengeksplorasi dan mengembangkan diri. Pada fase ini, remaja mengalami perubahan emosional dan sosial yang signifikan, seperti pencarian jati diri, kebutuhan akan pengakuan dari lingkungan, serta keinginan untuk merasa dihargai dan dicintai.
Kurangnya perhatian dari orang tua terhadap anak, kurangnya kedekatan antar orang tua, serta kondisi keluarga yang kurang harmonis dapat menjadi penyebab rentannya remaja perempuan terhadap child grooming. Groomer mencari korban dengan kondisi remaja yang membutuhkan sosok orang tua dalam dirinya. (Ratnasari D, 2022) Dalam beberapa hal, remaja dengan kondisi tertentu, seperti tinggal dengan orang tua tunggal, tinggal bersama kerabat atau wali, asrama, panti asihan, atau jauh dari pengawasan orang tua rentan menjadi korban grooming. Hal ini dikarenakan remaja yang terisolasi dan kekurangan dukungan secara sosial, rendah diri, memiliki rasa tidak percaya diri, lebih rentan terhadap perhatian orang asing.
Selain itu, rendahnya pengetahuan remaja mengenai child grooming juga menjadi faktor mengapa remaja perempuan menjadi rentan akan hal tersebut. Di usia dini, anak seharusnya mendapat pendidikan seks dari keluarga dan lingkungan sekolahnya, tetapi realitanya, hal tersebut dianggap tabu sehingga jarang dilakukan. Bahkan dalam beberapa daerah, fenomena child grooming sendiri belum terlalu dipahami oleh orang tua, guru dan masyarakat. Akibatnya, pendidikan mengenai child grooming secara tidak sengaja tidak tersampaikan di kalangan anak dan remaja. Kurangnya pemahaman mengenai bahaya ini memperbesar risiko eksploitasi seksual terhadap anak. (Yulia Indahri, 2024)
Di zaman modern ini, fenomena child grooming semakin mudah dijumpai seiring dengan penggunaan media sosial di kalangan remaja, seperti platform Instagram, WhatsApp, TikTok, maupun game online. Dengan mudahnya akses media sosial masa kini, groomer dapat dengan cepat mengakses informasi pribadi, mengamati aktivitas korban, bahkan memulai percakapan tanpa harus bertemu langsung. Media sosial memberi ruang bagi groomer untuk ‘menyamar’ menjadi teman korban, memberikan perhatian, dan membangun kedekatan emosioanl dengan perlahan. arena prosesnya berlangsung di balik layar dan sering tampak seperti interaksi biasa, banyak remaja—terutama perempuan—tidak menyadari bahwa mereka sedang dimanipulasi hingga hubungan tersebut berkembang menjadi kontrol, tekanan seksual, atau bentuk kekerasan lainnya. Dengan demikian, media sosial menjadi pintu masuk yang efektif bagi groomer untuk menjebak dan mengeksploitasi korban. Orang tua perlu memberikan perhatian lebih, mengingat perkembangan zaman masa kini, media sosial merupakan salah satu sarana bagi groomer dalam melakukan aksi grooming. Banyak orang tua yang kurang melakukan pengawasan terhadap aktivitas media sosial anak, terutama orang tua generasi X atau Y yang gaptek atau gagap teknologi, sehingga kurang memahami cara kerja media sosial dan fitur-fitur keamanannya. Kondisi ini membuat mereka kesulitan mengawasi aktivitas daring anak dan tidak mampu mengenali tanda-tanda risiko seperti pertemanan mencurigakan, pesan asing, atau pola interaksi yang berbahaya. Akibatnya, anak lebih rentan terpapar potensi grooming karena pengawasan digital dari orang tua tidak berjalan secara optimal.
Berdasarkan data Komnas Perempuan Tahun 2024, tercatat sebanyak 1.791 kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) yang terjadi di ruang siber/online/daring atau yang difasilitasi oleh teknologi. Kasus ini meningkat 40,8% dibanding tahun 2023. (KOMNAS PEREMPUAN, 2025) Peningkatan signifikan ini menunjukkan bahwa ruang digital semakin menjadi medium yang rawan bagi terjadinya kekerasan, terutama terhadap perempuan dan remaja. Lonjakan tersebut juga menandakan bahwa pelaku semakin memanfaatkan perkembangan teknologi untuk melakukan intimidasi, pemerasan, penyebaran konten pribadi, hingga praktik grooming yang menyasar anak dan remaja perempuan. Data ini menggarisbawahi urgensi pengawasan digital, literasi keamanan daring, serta perlindungan hukum yang lebih kuat untuk mencegah korban baru muncul di tengah pesatnya penggunaan media sosial.

Gambar 1.2 Jumlah Kasus LBGO Data Komnas Perempuan
Faktor lain penyebab kerentanan remaja perempuan terhadap perilaku grooming disebabkan kurangnya kesadaran anak akan grooming tersebut, sehingga anak bahkan tidak menyadari dirinya sedang dimanipulasi oleh groomer yang dibalut dengan perilaku ‘positif’. Kurangnya kesadaran ini diperparah oleh keterbatasan pengalaman hidup dan kemampuan berpikir kritis remaja dalam menilai motif orang lain. Groomer biasanya hadir dengan sikap yang tampak penuh perhatian, suportif, dan memvalidasi perasaan korban, sehingga perilaku manipulatif tersebut tersamarkan sebagai bentuk kepedulian atau kasih sayang. Remaja perempuan yang sedang berada pada fase membutuhkan penerimaan dan figur yang dianggap memahami dirinya kemudian menjadi lebih mudah percaya, bahkan ketika pelaku secara bertahap mulai melampaui batas-batas hubungan yang sehat.
3. Dampak dari fenomena Child grooming.
Adapun beberapa dampak dari fenomena child grooming terhadap korban, antara lain;
- Dampak child grooming tidak hanya bersifat fisik tetapi juga psikologis. Banyak korban mengalami depresi, kecemasan, hingga trauma jangka panjang akibat manipulasi dan eksploitasi yang mereka alami.
- Anak-anak korban sering mengalami penurunan fungsi sosial, seperti menarik diri dari lingkungan, kesulitan membangun hubungan pertemanan, serta kehilangan kemampuan bersosialisasi secara normal.
- Minimnya edukasi mengenai pendidikan seks memperburuk kondisi korban. Topik ini sering dianggap tabu, sehingga anak tidak mampu mengenali tanda-tanda grooming dan orang tua kurang memahami cara memberikan perlindungan yang tepat.
- Korban juga dapat mengalami trauma seksual, baik pada remaja perempuan maupun laki-laki. Trauma ini bermula dari rasa pengkhianatan yang menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap orang dewasa. Trauma tersebut menimbulkan perasaan tidak berdaya serta menghambat perkembangan emosional anak, sehingga mempengaruhi kesehatan mental jangka panjang.
- Dampak jangka panjang child grooming dapat muncul saat korban dewasa, seperti kesulitan mengendalikan stres, gangguan stres pascatrauma (PTSD/Post Traumatic Stress Disorder), gangguan emosi dan kecemasan, hingga munculnya keinginan untuk mengakhiri hidup.
Kondisi ini diperburuk oleh minimnya edukasi tentang pendidikan seks di kalangan anak-anak dan orang tua, yang sering kali dianggap tabu untuk dibicarakan. Dampak serius dari child grooming tidak hanya merusak kesehatan emosional dan mental anak, tetapi juga dapat memengaruhi perkembangan sosial, pendidikan, dan masa depan mereka. Kondisi ini menunjukkan, permasalahan child grooming layak mendapatkan perhatian lebih besar dari masyarakat dan pemerintah.
4. Upaya Pencegahan terhadap fenomena child grooming.
Melihat banyaknya kasus child grooming yang mengarah pada kekerasan seksual terhadap remaja perempuan, maka sangat diperlukan upaya pencegahan oleh pihak-pihak terdekat, antara lain keluarga, sekolah, masyarakat, serta negara. Hal pertama yang dapat dilakukan adalah memberikan pengetahuan sederhana mengenai bagian tubuh yang boleh dan tidak boleh disentuh orang asing atau disebut body boundaries. Pengenalan mengenai body boundaries dapat dikenalkan sejak anak berusia 4-6 tahun. Pengenalan mengenai bagian tubuh bukan sekedar untuk melindungi anak dari potensi pelecehan, tetapi juga membangun rasa percaya diri terhadap anak, sehingga anak menyadari bahwa tubuh mereka berharga dan tidak boleh disentuh orang sembarang orang. Pengenalan mengenai body boundaries ini dapat dimulai dari lingkungan keluarga khususnya orang tua, kemudian bila anak sudah mulai memasuki Taman Kanan-kanak, diperlukan peran guru untuk mengenalkan body boundaries kepada anak. Saat anak memasuki usia remaja atau masa pubertas, penting bagi orang tua memberi pemahaman mengenai perubahan fisik dan emosional misalnya menstruasi, mimpi basah, dan fluktuasi emosi. (Cut Annisa Novianti, 2023)
Selain itu, orang tua perlu memberikan dukungan sosial emosional yang konsisten sehingga anak merasa disayangi, dihargai, dicintai, dan dipercaya. Rasa aman emosional yang dibangun di dalam keluarga akan menjadi fondasi penting bagi anak untuk memahami nilai dirinya dan membedakan mana perhatian yang tulus dan mana yang bersifat manipulatif. Keluarga juga perlu memperkuat ikatan emosional dengan menanamkan budaya keterbukaan, saling berbagi pengalaman, serta mengajarkan kejujuran dalam setiap interaksi. Komunikasi yang efektif, hangat, dan terarah membuat anak merasa bahwa rumah adalah tempat paling aman untuk bercerita, termasuk ketika mereka mengalami situasi yang membingungkan atau tidak nyaman. Dengan mendengarkan pengalaman anak tanpa menghakimi atau menyalahkan, orang tua membantu anak membangun kepercayaan diri, kemampuan menilai risiko, dan keberanian untuk meminta bantuan ketika menghadapi potensi grooming atau bentuk kekerasan lainnya. (S.M, 2022)
Untuk meningkatkan efektivitas pencegahan, perlu adanya edukasi kepada anak mengenai tanda-tanda grooming, baik secara langsung maupun melalui dunia maya atau sosial media. Orang tua perlu waspada mengingat sosial media tidak hanya memberikan dampak positif tetapi juga dampak negatif. Orang tua perlu membuat aturan mengenai penggunaan gawai maupun sosial media yang jelas, misalnya membuat batasan waktu penggunaannya, jenis aplikais yang boleh diunduh, serta kesepakatan untuk selalu berdiskusi apabila anak menerima pesan dari orang yang tidak dikenal. Pengawasan juga dapat diperkuat dengan menempatkan gawai di ruang keluarga, menggunakan aplikasi parental control, serta membangun komunikasi terbuka agar anak merasa nyaman bercerita tentang aktivitas daringnya. Dengan kombinasi pengetahuan teknologi dan kedekatan emosional, orang tua dapat berperan aktif dalam mencegah risiko grooming dan menjaga keamanan anak di dunia digital.
Di lingkungan sekolah, guru dan pendidik wajib membekali anak mengenai pendidikan seksual dan edukasi kesehatan. Edukasi kesehatan merupakan proses yang dirancang untuk mempengaruhi perilaku individu, kelompok, atau masyarakat agar lebih sadar akan isu kesehatan tertentu. Pendidikan kesehatan adalah penerapan konsep pedagogik dalam kesehatan untuk memfasilitasi proses pertumbuhan dan perkembangan pengetahuan individu, sehingga memungkinkan terjadinya perubahan perilaku yang lebih baik. Dalam konteks ini, pendidikan kesehatan mengenai child grooming sangat penting untuk meningkatkan kewaspadaan dan kemampuan anak dalam melindungi diri. (Hera Hijriani, 2025)
Baik anak maupun remaja harus dibekali pengetahuan mengenai ciri-ciri pelaku/groomer, serta perilaku apa saja yang masuk kedalam child grooming. Ini merupakan Langkah preventif utama dalam mengurangi risiko kekerasan seksual. Dalam proses pendidikan kesehatan, faktor-faktor seperti metode penyampaian, materi, pendidik, serta alat bantu pendidikan berperan penting dalam mencapai tujuan pendidikan, yaitu perubahan perilaku yang positif. Edukasi kesehatan yang berkelanjutan di sekolah sangat penting untuk memperkuat pemahaman anak akan bahaya child grooming dan memberikan mereka kemampuan untuk melindungi diri dari modus kejahatan seksual yang berkembang. (Notoadmodjo, 2017)
Selain orang tua dan guru, pemerintah juga telah berupaya mencegah terjadinya child grooming dengan membuat perlindungan terhadap anak, seperti Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (UUPA), Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Apabila child grooming telah terjadi kepada anak dan remaja, maka langkah yang dapat diambil tercantum dalam Pasal 67B Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, berupa upaya pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental anak. Diperlukan adanya upaya penegakan hukum yang efektif dari pemerintah dan negara untuk menangani pelanggaran hukum khususnya mengenai fenomena grooming, karena apabila terdapat kekurangan kejelasan hukum makan akan membuat penegakan hukum menjadi sulit dan mengakibatkan ketidakadilan.
III. Penutup
Kesimpulan
Upaya pencegahan terhadap fenomena grooming yang menyasar anak dan remaja perempuan harus dilakukan secara komprehensif, mengingat mereka merupakan kelompok usia yang secara hukum wajib dilindungi dan secara psikologis masih berada pada tahap pencarian jati diri. Pencegahan tidak cukup hanya dengan memperketat pengawasan digital, tetapi juga harus menyasar akar kerentanan yang membuat remaja mudah dimanipulasi, baik melalui hubungan yang disamarkan sebagai pacaran maupun bentuk-bentuk kedekatan emosional lainnya. Keluarga, sekolah, masyarakat, dan negara perlu membangun ekosistem perlindungan yang memberi edukasi tentang hubungan sehat, batasan pribadi, dan literasi digital, sehingga remaja perempuan mampu mengenali tanda-tanda manipulasi serta berani mengambil sikap ketika menghadapi situasi yang berpotensi menjadi grooming atau kekerasan seksual.
Bibliography
Anggreany Haryani Putri, R. A. (2023). Hukum Perlindungan Anak Korban Child Cyber Grooming . Malang: PT Literasi Nusantara Abadi Grup.
Cut Annisa Novianti, R. S. (2023). Perancangan Ilustrasi Buku Anak tentang Bagian Tubuh yang Bersifat Privasi (Body Boundaries) untuk anak usia 4-6 tahun. Jurnal Rupa Mantra: Desain Komunikasi Visual, Seni Grafis, dan Multimedia Vol. 02 No 01.
Dr. Drs. H. Rifa'i Abubakar, M. (2021). Pengantar Metode Penelitian. Yogyakarta: SUKA-Press UIN Sunan Kalijaga.
Endah Hendarwati, H. I. (2024). Edukasi dan Upaya Preventiv Kasus Child Groomingdi Sekolah DasarEducation and Preventive Measures for Child Grooming Cases in Elementary School. Aksiologiya : Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat Vol 8 No 3.
Formas Juitan Lase, G. W. (2022). Edukasi Bahaya Child Grooming kepada Anak di Bawah Umur. Jurnal Comunita Servizio, 935.
Georgia M. Winters, E. L. (2017). Stages of Sexual Grooming: Recognizing Potentially Predatory Behaviors of Child Molesters, Deviant Behaviour. Routledge Taylor & Francis Group : Deviant Behaviour vol 38, No 6.
Hera Hijriani, A. A. (2025). PENINGKATAN PENGETAHUAN SISWA SEKOLAH DASAR TENTANG BAHAYA CHILD GROOMING MELALUI EDUKASI KESEHATAN. Jurnal Asuhan Ibu dan Anak JAIA 2025; 10(1), 33.
Ika Yuniartiningsih, S. W. (2022). Literature Review: Analisis Kasus Grooming Child pada Penggunaan Media. Jurnal Penelitian Pendidikan Volume 14 Nomor 02 , 122.
KOMNAS PEREMPUAN. (2025, Maret 7). Menata Data, Menajamkan Arah. Refleksi Pendokumentasian dan Tren Kasus Kekerasan terhadap Perempuan 2024. CATAHU 2024 : CATATAN TAHUNAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN TAHUN 2024, p. 42.
Natalie Bennett, W. O. (2014). The Construct of Grooming in Child Sexual Abuse : Conceptual and Measurement Issues. Journal of Child Sexual Abuse 23 (8):957-76.
Notoadmodjo, S. (2017). Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Ratnasari D, S. M. (2022). Grooming Pada Anak. Jurnal Mahasiswa BK An-Nur : Berbeda, Bermakna, Mulia Volume 8 No 1, 18-32.
Rebecca Williams, I. A. (2013). Indetifying Sexual Grooming Themes Used by Internet Sex Offenders. Deviant Behavior an interdisciplinary journal.
S.M, T. C. (2022). Komunikasi Keluarga dan Resiliensi para Perempuan Korban Kekerasan Berbasis Gender Online. Jurnal Komunikasi Pembangunan 20(01), 14-26.
Yulia Indahri, A. H. (2024). Upaya Melindungi Anak dari Child Grooming Melalui Literasi Digital. Bidang Kesejahteraan Rakyat Info Singkat Kajian Singkat terhadap Isu Aktual dan Strategis Vol XVI No. 20/II/Pusaka/Oktober/2024.